Jangan Tolak Fase Quarter Life Crisis
Berhubung sekarang udah tahun 2020, apakah salah satu
resolusimu adalah keluar dari fase quarter
life crisis? Kalo iya, kita sama hehe.
Lewat tulisan ini aku ngga berniat nyari temen untuk
berkeluh kesah seputar pusingnya berada dalam quarter life crisis, di sini aku cuma mau berbagi mengenai apa yang
udah aku baca, aku rasa, dan aku dengar mengenai fenomena ini. Tulisan ini juga
dibuat based on request dari salah
satu temen perkuliahanku.
Apa
sih Quarter Life Crisis itu?
Meskipun istilah ini amat familiar di telinga orang, mungkin masih ada yang sebenarnya ngga
begitu tahu mengenai definisinya sendiri. Dalam collinsdictionary.com, quarter life crisis merupakan krisis
yang mungkin dialami oleh seseorang dengan umur duapuluhan, di dalamnya
termasuk kecemasan terhadap arah dan kualitas hidup seseorang. Hal ini sering
terjadi di kalangan milenial dengan kisaran umur 20-30 tahun seperti yang
dijelaskan oleh Jennyfer, M.Psi, seorang Psikolog dengan judul artikelnya yaitu
“Tanda Anda Sedang Dalam Quarter Life Crisis dan Cara Bijak Menghadapinya.”
Namun penemuan lain dari studi yang dilakukan Linkedin, quarter life crisis ternyata dimulai dari umur 25 hingga
30 tahun. Dari berbagai pendapat tersebut, menurutku quarter life crisis adalah satu fase hidup yang menjadi alarm untuk
berkenalan dengan diri sendiri, prosesnya ngga akan nyaman, tapi mungkin memang
perlu terjadi.
Kenapa
sih bisa mengalami Quarter Life Crisis?
Faktor-faktor terjadinya quarter
life crisis sangat beragam. Banyak riset-riset yang telah dilakukan untuk
menemukan root cause dari fenomena
menarik ini. Dalam artikel ini, aku akan membedah faktor-faktor tersebut
menurut pengalaman aku sendiri, dikombinasikan dengan cerita-cerita orang di
sekitarku yang pernah/sedang mengalami.
1.
Terpapar Efek Buruk Media Sosial
Seperti magnet yang memiliki kutub
positif dan negatif, media sosial pun sama. Hasil cipta manusia ini dirancang
untuk membuat kita ketagihan. Tanpa sadar, setiap hari, kita menghabiskan
terlalu banyak waktu di hidup untuk bermain media sosial. Scrolling feels so comfortable. Ngga jarang ngerasa, I got nothing after scrolling. Tapi
masih terus dilakukan. Instagram sebagai media sosial yang paling sering aku
kunjungi, aku ditunjukkan visual yang sebenarnya tidak dapat menjelaskan atau
memberikan gambaran penuh mengenai hidup orang-orang yang menyebarkannya. Tapi
secara sadar aku akui bahwa dengan melihat instastory
tersebut atau feeds tersebut, aku
mulai mengkomparasi pencapaian serta kehidupan yang sedang aku jalani. Misalnya
mulai menggumam dalam hati, “kok aku di rumah aja ya? ga kayak dia, seru banget
jalan-jalan mulu.” “Kok dia keren banget deh bisa seproduktif itu?”. Sebagian orang juga mulai ragu dengan kemampuan dirinya karena belum lulus kuliah, ragu akan pilihan karirnya dimana mereka berpikir pekerjaannya tidak sesuai dengan passion, pekerjaannya tidak memberikan rasa puas atau bahagia, belum memiliki pasangan, belum mampu menikah, belum punya anak yang lucu, dan lainnya. Pertanyaan-pertanyaan ini timbul tanpa memandang negatif kepada orang yang
telah menyebarkan kegiatannya melalui instagramnya tersebut.
2.
Ekspektasi Tidak Sesuai Realita
Di usia 22 tahun, setelah wisuda,
aku mulai memikirkan rencana mengenai target baru yang ingin aku capai terutama
berkaitan dengan karir. Semua impian sudah terproyeksikan, dengan penuh
harapan, usaha serta doa agar tercapai sesuai ekspektasi. Mulai dengan melamar
kerja ke satu demi satu perusahaan. Dilanjutkan dengan tes dari satu tempat ke
tempat lainnya. Dihentakkan dengan kegagalan-kegagalan yang dihadapkan.
Dipersulit dengan desakkan orang terdekat yang bertanya, “udah kerja dimana?.”
Semuanya, jelas di telinga. Cerita yang sama juga dialami oleh seorang teman,
and it makes her really anxious,
begadang amat parah, dan sangat overthink
akan masa depan. Tapi, kejadian itu membuat aku mulai menyelami
sedalam-dalamnya diri sendiri untuk tahu apa sih strengths dan weakness yang
aku punya, rombak CV juga and it works
well. Dengan cara itu aku memutuskan untuk berani ambil kerjaan freelance sesuai dengan kemampuan yang
aku kenal dari diriku. Berlanjut dengan kerja secara full time di suatu perusahaan hingga leaving my own comfort zone lagi dan harus mulai dari awal lagi
hehe.
3.
Keadaan Finansial
Sebenarnya keadaan finansial ini
baru-baru aja aku rasain. Something that
leads me to this adalah balik ke persoalan karir dan didorong juga dengan
media sosial. Sebagai anak pastinya ada rasa ingin menjadi mandiri dan ingin
mengurangi beban orangtua secara finansial. Pengen juga punya kendaraan
sendiri, rumah sendiri, hal-hal yang kedengarannya masih jauh. Aku dengar ada
orang yang bahkan menghadapi tantangan yang jauh lebih sulit terkait finansial
dimana, ia harus menjadi tulang punggung keluarganya karena salah satu
orangtuanya meninggal, sangat sulit dengan kondisinya yang masih berusaha
mencari kerja. Lalu apa kaitannya dengan media sosial? Ya, dengan melihat
banyak orang yang bisa traveling kesana-kemari,
beli barang ini itu, makan-makan mewah yang semuanya didapatkan dengan
kepemilikan sejumlah uang. Sebagian orang di luar sana juga mungkin berpikir,
mereka membutuhkan uang karena ingin mencapai target menikah, atau desakkan
pasangan yang ingin segera dihalakan.
Gimana
caranya menghadapi Quarter Life Crisis?
Pertanyaan ini adalah pertanyaan besar yang juga masih aku
cari dan usahakan. Tiap orang pasti punya caranya sendiri.
1. It’s all about mindset
Berdasarkan
Dr. Oliver Robinson, seorang Dosen Senior dalam Psikologi di University of Greenwich. Ia menjelaskan
sesuai risetnya bahwa 2000 British
millennials (umur 25-35), 56% dari mereka mengakui sedang mengalami quarter life crisis. Meskipun begitu, 50% dari mereka setuju apa yang sedang
mereka alami dapat menjadi katalisator untuk perubahan positif di masa depan.
Dari riset tersebut, terlepas dari cara-cara yang disebutkan untuk menghadapi quarter life crisis yang tertuang dalam
“How to turn your quarter life-crisis
into quarter-life catalyst,” aku akan mengawali dengan mindset. Mindset kita
mengenai quarter life crisis sebaiknya
diubah. Kita sebaiknya memandang quarter
life crisis bukan sebagai hal buruk melainkan fase hidup yang akan membawa
kita menuju perubahan yang lebih baik di masa depan. Dengan mindset tersebut, kita ngga akan mudah
menyerah dan terus berusaha karena kita tahu akan ada sesuatu yang lebih baik
terjadi setelah kita melewatinya. Aku tahu beberapa orang malah lebih sukses ketika sudah melewati quarter life crisis. Aku tahu seseorang yang dipecat perusahaan yang membuat ia terpuruk namun kini berhasil menjadi seorang konsultan. Aku tahu seseorang yang diminta resign secara halus oleh bosnya di umur 28 tahun namun kini berhasil menjadi seorang financial planner.
2.
What to do with your social media?
Komparasi atas kehidupan diri
sendiri dengan orang lain juga karena kita mungkin mengalami adiksi akan media
sosial. Aku pernah menonton igtv dari seorang influencer bernama @ayladimitri dengan @rezagunawan (pakar
penyembuhan holistik Indonesia) dengan judul “Addicted to Screen/Social Media?.” Dari igtv tersebut, Mas Reza
memaparkan bahwa kita tidak bisa mengontrol diri kita dalam menggunakan media
sosial melainkan perlunya kesadaran dan hidup lebih sadar. Adiksi yang membawa
terhadap komparasi adalah buruk. Pelan-pelan mengurangi adiksi media
sosial dan tau value kita itu penting. Kita juga
perlu sadar bahwa kita juga pantas untuk berhasil dan bahagia. Jangan biarkan self-esteem bergantung pada pengakuan dari orang lain melalui jumlah likes dan followers di media sosial.
3.
Baca buku self-improvement
Menurut pendapatku, baca buku self-improvement itu membantu. Selain
baca buku itu bagus untuk meningkatkan minat terhadap membaca dan menambah
wawasan, baca buku juga bisa jadi kegiatan lebih produktif daripada hanya buka
media sosial. Salah satu buku self-improvement
yang aku sangat rekomendasikan adalah dari Mark Manson yang berjudul The Subtle Art of Not Giving a F*ck, untuk
ulasan lebih dalam mengenai bukunya, bisa baca tulisan temenku di
http://hanhanifa.blogspot.com/2018/07/review-buku-sebuah-seni-untuk-bersikap.html?m=1.
Saat ini aku juga sedang membaca buku dari Henry Manampiring berjudul Filosofi
Teras, kalau kamu mau ebooknya kabari
aku ya, akan ku kirim.
4.
Lakukan Hal Baru
Blogging adalah salah satu pelarianku. Sebenarnya bukan hal baru
untuk aku. Tapi cara aku ngeblog lebih
baru. Meditasi juga bisa jadi salah satu pilihan kegiatan baru yang bisa dicoba untuk menenangkan pikiran dari hal-hal yang tidak perlu dipikirkan. Selain itu, mungkin kamu punya suatu hobi yang bisa kamu terus lakukan dan asah
kemampuan kamu di situ, siapa tau hobi kamu adalah jalan kesuksesan kamu.
Pokoknya jangan berhenti mencoba. Tetaplah menjadi produktif.
Sebenarnya engga mudah untuk menjadi terbuka dengan menceritakan yang dialami diri sendiri meskipun cuma sebagian kecil di blog ini, tapi mungkin hal ini perlu dilakukan sebagai pengingat juga untuk diri sendiri. Penutup dari aku, jangan lupa bahagia, kamu pantas akan hal
tersebut. Apapun yang kamu inginkan saat ini, you’ll get there. I’ll get there. Bersyukur akan hal yang kamu
miliki saat ini dan terus baik dengan siapapun. Semangat! :)
Comments
Post a Comment